Tuesday 29 January 2013

Hermeneutik Leksionari II

GKI Pasirkaliki, 11 April 2011
(Diskusi Terbatas)
Diskusi kali ini merupakan bagian dari rangkaian diskusi seputar “Hermeneutik Leksionari” yang sebelumnya telah dimulai di Jakarta, tepatnya di GKI Kayu Putih (14 Maret 2011). Acara ini dilakukan agar pembahasan seputar “Hermeneutik Leksionari” bisa juga menjangkau rekan-rekan pendeta dan calon pendeta di wilayah Bandung dan Cirebon. Sekalipun topik yang dibahas tetap sama, namun kali ini pembicaranya berbeda; untuk pembicara pertama tetap sama, yakni Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, sementara pembicara kedua diisi oleh Pdt. Rasid Rachman yang membawakan makalah dengan judul “Menyusun Khotbah dengan Dasar Tiga Bacaan”. Secara umum, makalah yang dibawakan oleh kedua pembicara ini seakan membentuk alur yang bergerak dari pergulatan kekristenan untuk menemukan identitasnya – keluar dari bayang-bayang Yudaisme – sampai pada upaya untuk menemukan pengalaman dan kekayaan yang bisa dirasakan oleh kekristenan di berbagai tempat dalam basis common pattern. Sama seperti diskusi 14 Maret 2011 di GKI Kayu Putih, Pdt. Yohanes Bambang Mulyono melihat ibadah – dalam bingkai leksionari tentunya – sebagai tempat di mana kekayaan dan pengalaman bersama dirayakan. Di sinilah common pattern yang bertumpu pada tiga pilar – (1) liturgi lima, (2) konsensus para ahli liturgi dan (3) kesadaran akan tahun liturgi – dipahami dan diyakini akan memberikan ruang baik untuk eksplorasi teks-teks Alkitab maupun bagaimana teks-teks tersebut hendak dihidupi di dalam prosesi liturgis; misalnya dengan memperhatikan dua siklus penting di dalam kalender liturgi. Dalam konteks tafsir atas bacaan leksionari, keyakinan akan kekayaan leksionari paling tidak terlihat dari bagaimana Pdt. Yohanes Bambang Mulyono memahami bacaan minggu palmarum (Yes. 50:1-9a, Mzm. 118:1-2, 19-29, Fil. 2:5-11, Mat. 21:1-11) dengan menempatkannya di dalam gagasan mengenai kenosis yang terhubung dengan tiga bacaan, yakni Matius (kerendahan hati yang tampak dalam penggunaan keledai), Filipi (kenosis Allah yang digambarkan dalam kenosis Yesus) dan Yesaya (kerendahan hati diterjemahkan dalam bentuk lidah seorang murid). Bagi Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, hal seperti ini memperlihatkan bagaimana sebuah gagasan bisa diisi dan diperkaya dari berbagai sudut; dalam konteks inilah beliau yakin bahwa sesungguhnya leksionari tidak membatas pengkhotbah, tetapi justru memuat kekayaan yang bisa dieksplorasi oleh si pengkhotbah.

Keyakinan akan arti penting common pattern seperti ini, sebagaimana tampak dalam presentasi Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, bisa dipahami dalam kaitan dengan makalah pembicara kedua (Pdt. Rasid Rachman). Hal ini mengingat Pdt. Rasid Rachman menarik pembicaraan mengenai leksionari jauh ke belakang, yakni pada pergulatan kekristenan untuk keluar dari bayang-bayang Yudaisme dan merumuskan identitasnya. Ini terlihat dari penjelasan mengenai pergerakan dari dua bentuk peribadahan – sinaksis (dilaksanakan di Sinagoge) dan ekaristi (dilaksanakan di rumah-rumah) – menjadi ibadah minggu yang dikemudian hari diikuti munculnya berbagai hari raya Kristen setelah Perjanjian Baru selesai ditulis. Pada alur seperti inilah, Pdt. Rasid Rachman lalu membahasakan praktek-praktek peribadahan kekritenan dan penyusunan Perjanjian Baru dalam alur yang saling mengisi; praktek-praktek peribadahan kekristenan mula-mula memiliki kontribusi dalam penyusunan Perjanjian Baru, kemudian Perjanjian Baru menjadi informasi bagi penyusunan tahun liturgis; Pdt. Rasid Rachman menyimpulkannya sebagai berikut:

           …. praktek peribadahan gereja awal menjadi isi dari kerangka 
           penulisan Alkitab.…. Banyak bagian, baik Perjanjian Baru dan 
           Perjanjian Lama (atau Perjanjian Pertama), telah dipergunakan dalam 
           ibadah Yahudi dan gereja zaman Patristik. Bahkan sebagian besar 
           Kitab Keluaran ditulis sebagai suatu liturgi Paska Yahudi. Dengan 
           demikian rangkaian dan kreativitas Paska dan Natal ini mengikuti 
           informasi Alkitab sebagaimana tertulis dan dikanonkan sebelumnya.

Dengan menarik leksionari pada pergulatan kekristenan menemukan identitasnya, Pdt. Rasid Rachman kemudian mengangkat apa yang disebut pengajaran; praktek yang bisa dikatakan menjadi salah satu simpul penghubung antara praktek lesionari di masa lalu dan kini. Dengan kata lain, leksionari ditempatkan dalam konteks homili yang diyakini Pdt. Rasid Rachman telah hidup di dalam kekristenan mula-mula dan menjadi bagian dari praktek leksionari pada masa kini; sebuah posisi yang bisa dikatakan berbeda dari apa yang pernah disampaikan Pdt. Robert Setio dalam presentasinya di GKI Kayu Putih.

Dalam konteks pengajaran inilah, pendekatan terhadap bacaan leksionari kemudian dilihat Pdt. Rasid Rachman sebagai upaya yang harus diawali dengan menemukan tema yang akan berfungsi sebagai “payung” dalam mengolah seluruh bacaan; sebagaimana dikatakannya:

Tema (atau judul) adalah pengarah, pedoman, atau pusaran yang akan digunakan oleh pengkhotbah untuk memberitakan pengajaran. Sebagai titik tolak pengajaran, perumusan tema adalah soal vital. Pengkhotbah perlu mencari informasi tambahan guna menunjang naskah perikop dan memperkaya pengajaran dan pewartaan.

pendekatan ini tidak hendak melihat teks-teks Alkitab sebagai sesuatu yang terpisah-pisah karena persoalan orisinalitas, melainkan melihat teks sebagai jalinan ide/pesan dalam konteks pengajaran. Oleh karena itu, bagi Pdt. Rasid Rachman: “Menyusun khotbah berdasarkan tiga bacaan, pada dasarnya sama dengan satu bacaan. Jika bermasalah dengan penyusunan khotbah satu bacaan, bermasalah pula dengan menyusun khotbah lebih daripada satu bacaan”. Apabila posisi ini diaplikasikan, kita akan menemukan penjelasan yang kurang lebih sejalan dengan apa yang ditemui dalam penjelasan Pdt. Yohanes Bambang Mulyono; contohnya bisa dilihat dari penempatan gagasan mengenai Allah sebagai fondasi kehidupan untuk merajut bacaan yang ada dalam Minggu Biasa tahun A; Kejadian 6:9-22, 7:24, 8:14-19, Mazmur 46, Roma 1:16-17, 3:21-28, Matius 7:21-29.

Dalam diskusi kali ini, terdapat dua persoalan utama yang muncul dari para peserta, yakni (1) persoalan seputar implemantasi leksionari, baik saat prosesi ibadah (terkait dengan penempatan bacaan agar tidak terkesan monoton) maupun saat jemaat setempat harus melaksanakan event tertentu; (2) mengenai keberadaan leksionari itu sendiri mengingat tidak semua gereja menggunakannya dan bentuknya yang dirasakan asing, hal ini membuat muncul pertanyaan mengenai dasar dari keberadaan leksionari. Secara umum, kedua pembicara melihat pelaksanaan leksionari masih terlalu “muda” di bagi gereja-gereja Protestan di Indonesia sehingga persoalan seperti di atas kerapkali muncul. (Berlan)