Monday 9 December 2013

Ibadah dan Dunia Pemuda

(Seminar Pemuda KPT GKI SW Jabar, 30 November 2013)


Frasa “Ibadah dan Dunia Pemuda” sesungguhnya hendak mendialogkan dua hal yang tak terpisahkan dan selalu menjadi tantangan dalam kehidupan gereja.  Di satu sisi, sebagaimana disinggung oleh Pdt. Dianawati S. Yuwanda (pembicara pertama),  ibadah memiliki peran penting dalam kehidupan gereja mengingat karya keselamatan Allah dan pergulatan sosial manusia menyatu dalam pengalaman umat (ibadah) serta terhubung dengan pengutusan (ibadah aktual dalam bentuk memberlakukan kasih kepada manusia dan seluruh ciptaan). Hal ini membuat ketiga komponen tersebut (karya keselamatan Allah, pergulatan sosial manusia dan pengutusan) saling terhubung satu dengan yang lain. Di dalamnya, gereja menjalankan fungsi pastoral (membimbing, menegur, menyembuhkan dan mendamaikan) agar manusia hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan dengan seluruh ciptaan. Inilah yang menjadi pijakan untuk memahami berbagai bentuk ibadah di dalam gereja, termasuk ibadah pemuda.

Di sisi lain, bagi Pdt. Dianawati, gereja juga berhadapan dengan dunia pemuda yang semakin hari mengalami pergeseran otoritas dari yang bersifat komunal ke arah yang bersifat individual (Individualisme Iman). Akibatnya, iman kehilangan pesonanya dalam memengaruhi kehidupan bersama. Situasi ini berjalan bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi yang membombardir generasi muda dengan informasi yang berlebihan (overload information), meminggirkan dimensi komunal ― termasuk peran Tuhan ― dalam interaksi sosial dan menciptakan kesenjangan (gap) antargenerasi. Inilah generasi mosaic yang oleh Pdt. Dianawati, dengan merujuk buku You Lost Me karangan David Kinnaman & Aly Hawkins, digambarkan sebagai generasi yang lebih mempercayai teman sebaya, relativisme dan ketertarikan kepada spiritualitas berdasarkan pengertiannya sendiri; bukan lagi pada orang tua, gereja, pemerintah, bahkan Alkitab.

Persoalan di atas sesungguhnya bisa dibaca dari sudut pandang psikologi. Ferdinand Prawiro (pembicara kedua), dengan merujuk teori perkembangan iman (Stages of Faith) yang diperkenalkan oleh James Fowler, memperlihatkan bahwa persoalan di atas sesungguhnya berada pada tahap keempat (tahap conventional faith; awal masa remaja) dan kelima (tahap reflective faith; awal masa pemuda). Pada tahap ini, berkembang kebutuhan untuk berbagi pengalaman pribadi dengan teman sebaya, kebutuhan untuk memiliki hubungan personal dengan Tuhan dan cenderung mempertanyakan nilai dan keyakinan yang ada; terjadi pergeseran dari otoritas eksternal ke otoritas diri (authority within the self). Bagi Prawiro, tahap ini merupakan fase yang kritis mengingat radikalisme dapat terbentuk di sini. Mereka yang perkembangan religiositasnya tertahan di tahap keempat ― tidak sanggup melewati tahap tersebut ― memiliki potensi menjadi seorang yang radikal mengingat ketergantungannya pada apa yang bersifat tekstual dan otoritas eksternal. Selain itu, fase ini juga menjadi kritis ― khususnya pada tahap kelima ― mengingat di sinilah generasi muda menarik diri dari berbagai kegiatan ibadah, seiring menguatnya otoritas diri.

Di sinilah letak tantangan yang dihadapi gereja untuk mengelola ibadah pemuda dalam rangka pendampingan untuk membimbing, menegur, menyembuhkan dan mendamaikan (fungsi pastoral gereja). Ibadah tidak dibaca sebagai kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan berbagai hal yang terkait kehadiran gereja di tengah dunia. Oleh karena itu, Pdt. Dianawati meletakkan ibadah pemuda dalam bingkai yang lebih luas, yakni pembangunan jemaat di mana gereja bergumul secara terpadu dan sinambung untuk menghadirkan kesaksian dan pelayanan ― sesuai kehendak Allah ― di wilayah kehadirannya. Pendekatan ini membuat pengelolaan ibadah pemuda harus memperhatikan pendekatan lima faktor yang dikenal dalam pembangunan jemaat:


Dalam konteks pengelolaan ibadah pemuda, Pdt. Dianawati menjelaskan bagan di atas sebagai berikut:


Input:

  • Kenali dengan baik karakter pemuda yang beribadah di jemaat kita.
  • Kenali juga masyarakat di mana anak pemuda kita hadir di sana.
  • Kenali keadaan ibadah pemuda sekarang ini; apa yang menjadi masalah, hambatan, tantangan, kesempatan yang dihadapi pemuda gereja kita.

Output:

  • Tetapkan output yang menjadi target dari ibadah pemuda setelah menginventarisasi keadaan pemuda sekarang ini.
  • Tetapkan apa yang diharapkan agar keadaan sekarang ini menjadi lebih baik.

Iklim:

  •  Pililah cara-cara atau bentuk-bentuk kegiatan yang membuat setiap umat merasa diterima, dihargai, dilibatkan dalam ibadah.
  • Perhatian kepada semua anggota dirasakan mereka.
  • Publikasi atau sosialisasi program, pelaksanaan ibadah secara transparan, menarik, “menjual” kepada seluruh anggota pemuda.

Struktur:

  • Buatlah pembagian tugas  saling terkait antarkelompok pelayanan, antaranggota.
  • Komunikasi antargenerasi; dengan remaja, dengan dewasa, majelis jemaat. Dengan demikian, gap tidak menghambat terjadinya kesinambungan pembinaan.

Identitas:

  • Kesadaran akan identitas ibadah pemuda GKI harus terus terjaga sekalipun mengikuti zaman yang terus berubah.
  • Kreatifitas tidak harus mengkaburkan apalagi menghilangkan identias sebagai ibadah GKI.

Tujuan & tugas:

  • Ibadah bertujuan menjadikan seorang pemuda sebagai bakhur, yakni seorang yang mampu menentukan pilihan secara cerdas, mampu mengkaitkan iman dengan vokasinya dan menjadi manusia sapienta.
  • Perhatikan kurikulum yang menyatu dengan seluruh kegiatan pemuda. Materi yang dibahas harus memberi jawab kebutuhan pemuda; misalnya pencarian vokasi, otoritas Allah, Alkitab, orang tua bagi orang muda, membangun karier, menjadi agen pembaruan, menjalankan peran orang muda di tengah masyarakat dan bumi atau sumber-sumber kehidupan, tentang kehidupan bersama, berbagi ruang di tengah prulaitas, bersiap untuk membangun rumah tangga atau melajang.
  • Materi/ topik untuk ibadah pemuda harus meliputi seluruh aspek kehidupan bergereja, berkeluarga bermasyarakat; membuat pemuda hidup dalam damai sejahtera dengan Allah, sesama dan lingkungan.
  • Materi kotbah pemuda harus meliputi pemenuhan kebutuhan pribadi pemuda itu sendiri; relasinya dengan Tuhan, dengan orang tua, teman, masyarakat dan lingkungan semesta.

Kepemimpinan:

  •  Pilih pemimpin yang mewadahi setiap potensi umat (pemuda).
  • Libatkan sebanyak mungkin anggota sebagai upaya kaderisasi, disamping menjadikan umat (pemuda) sebagai subjek dalam ibadah.
  • Pemimpin mampu memberi wewenang/delegasi tugas kepada semua umat; pemimpin di sini termasuk juga penatua, pengkotbah, liturgos.


Seluruh proses di atas harus dijalankan secara tertib, teratur dan sopan (rasa hormat) dan dialogis. Bagi Pdt. Dianawati, hal ini dikarenakan fondasi dari ibadah adalah merayakan tindakan Allah di dalam kehidupan manusia; termasuk ibadah pemuda tentunya. Oleh karena itu, gerak liturgis harus tertata dengan baik; termasuk tata ruang, waktu dan gerak. Proses seperti ini diyakini akan menjadikan ibadah sebagai perjumpaan yang hidup antara umat dengan Tuhan untuk mewujudkan tanggungjawab bersama di tengah dunia.

Selain penataan di atas, ada catatan menarik dari Prawiro yang penting diperhatikan dalam mengelola ibadah pemuda. Bagi Prawiro, peran orang tua dan teman sebaya (peer) perlu diberi tempat dan dikelola dengan baik mengingat kedua hal tersebut memiliki dampak yang besar dalam perkembangan iman generasi muda. Tabel berikut paling tidak menggambarkan bagaimana identitas keagamaan orang tua berpengaruh pada generasi muda.



Catatan dari kedua pembicara terlihat menarik apabila kita sandingkan dengan pergumulan generasi muda di GKI Maulana Yusuf dalam mengelola kegiatan pemuda; dipresentasikan oleh Pdt. Esther Setianingrum Hermanus dan tim dari GKI Maulana Yusuf. Aktivitas yang terkait peer group terlihat dalam kegiatan berbasis minat, kemudian pengemasan ulang tema ibadah minggu sesuai dunia pemuda, memberi ruang bagi generasi muda untuk berkreasi dalam lagu dan ibadah serta multimedia. Selain itu, kegiatan ibadah juga ditopang dengan aktivitas pasca ibadah seperti layanan foto instan (photo booth) yang dilaksanakan sebulan sekali, kegiatan pelatihan worship leader, kebebasan mengakses Wireless Internet Service (Wifi Service) untuk mendukung kegiatan peer group serta dukungan konsumsi dan berbagai pernak-pernik yang sesuai dengan tema ibadah. Hal ini paling tidak menunjukan bahwa pengembangan ibadah pemuda dapat berjalan dengan menarik apabila aspek peer group dan bebagai ekspresi pemuda diberi perhatian; bukan hanya di dalam ibadah, namun harus didukung juga dengan kegiatan pasca ibadah.