Tuesday 22 October 2013

Perjumpaan Agama dan Ekologi serta Dampaknya Pada Masa Kini




 (Seminar KPT GKI SW Jabar mengenai Agama dan Ekologi, 11 Oktober 2013)


Perjumpaan agama dan ekologi sesungguhnya merupakan hal yang penting di abad XXI mengingat dampaknya yang dalam terhadap wajah agama itu sendiri. DR. Whitney Bauman (pembicara dari Florida International University, Miami) menguraikan dengan menarik bagaimana perjumpaan tersebut telah membuat agama mengalami pergeseran yang begitu jauh dengan beragam variannya. Kenyataan ini membuat penelusuran terhadap interaksi agama dengan isu ekologi – bagaimana agama merespon isu tersebut  menjadi penting.
Dalam rangka penelusuran di atas, Bauman menarik persoalan agama dan ekologi pada sebuah pertanyaan penting, yakni: “how have we written ourselves outside the nature? and how can we write ourselves back in the nature?” Pada pertanyaan inilah, sebagaimana diyakini Bauman, interaksi agama dan ekologi harus ditelusuri. Di sini Bauman memulai penguraiannya dengan mengambil titik berangkat dari fase revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution); sebuah fase yang melahirkan hubungan problematis antara manusia dengan alam di mana corak dikotomis menjadi ciri di dalamnya. Alam diposisikan seperti benda mati, sementara manusia ditempatkan sebagai subjek yang memiliki kuasa atas alam; manusia bebas menggunakan alam (benda mati) sebagai alat untuk kepentingannya. Cara pandang ini berkembang karena revolusi ilmu pengetahuan membedakan secara kontras antara ilmu pengetahuan (science-nature) dengan agama (human-religion), antara kenyataan dengan agama, antara yang objektif (science) dengan yang personal (agama). Di sinilah desakralisasi terhadap alam mulai berlangsung. Allah tidak lagi dihubungkan dengan alam (ditempatkan di luar alam), dan sebagai gantinya manusia kemudian mengambil posisi tersebut. Akibatnya, alam hanya dipandang sebagai sumber (resource) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alur berpikir seperti ini, menurut Bauman, berfungsi sebagai “truth regime” yang dihidupi di dalam revolusi industri dan menyebar ke berbagai tempat melalui proses globalisasi.  Perkembangan seperti inilah yang kemudian melahirkan perlawanan dalam bentuk gerakan  lingkungan (enviromental  movement).
Cara berpikir di atas mulai mengalami pergeseran, sejak tahun 1900-an s/d abad XX, saat manusia memasuki perkembangan baru yang disebut new scientific revolution.  Ini ditandai munculnya tokoh seperti Albert Einstein (1879  1955), dengan teori ralativitasnya (E=mc2), memahami materi dan energi sebagai suatu entitas yang sama; materi dipandang sebagai kumpulan (konsentrasi) energi dan waktu (space time). Hal ini membuat materi di alam semesta dipandang berasal dari energi yang sama dengan energi yang membentuk manusia. Materi tidak lagi dipandang sebagai benda mati, namun sebagai sesuatu yang hidup. Inilah yang menjadi fokus studi fisika quantum, yakni bagaimana materi/benda terbentuk dari atom-atom energi; bintang, planet, manusia terbentuk dari atom-atom energi yang sama. Dengan demikian, dari sudut pandang fisika, manusia pada dasarnya terhubung (interrelated) dengan benda-benda yang lain karena berasal dari entitas yang sama.
Selain hal di atas, berkembang juga studi yang memberi perhatian pada keterkaitan manusia dengan kehidupan lain (other life). Ini tampak pada studi Neuroscience yang  membongkar pembedaan antara tubuh (body) dan pikiran (mind), juga pembedaan antara diri (self)  dan yang lain (other). Inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa manusia saling bertukar struktur internalnya (internal structure) dalam setiap interaksi.
Perkembangan di atas (new scientific revolution) membuka jalan bagi semangat zaman yang bergerak meninggalkan cara berpikir dikotomis (mempertentangkan alam dan manusia secara kontras).  Di era post-industrial, alam dan manusia atau budaya dan alam justru dibaca secara bersamaan (tidak ada pembedaan). Di sinilah orang berbicara mengenai Nature-culture atau Bio-historical. Oleh karena itu, manusia dan berbagai objek lainnya (komputer, pohon dsb.) dipandang sebagai bagian integral dari alam. Perkembangan ini sekaligus menjadi tantangan tersendiri – khususnya tantangan di wilayah epistemologi – mengingat manusia diperhadapkan dengan realitas baru dalam upayanya memikirkan dunia di sekitarnya.
Perkembangan di atas membuat manusia tidak lagi berada dalam situasi di mana dunia dibayangkan dalam batas-batas sosial dan budaya masing-masing; termasuk dikotomi antara manusia dan alam. Sebaliknya, manusia berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak ada pandangan tunggal mengenai dunia. Setiap orang dapat berpindah dari satu pandangan ke pandangan yang lain, atau menggabungkan berbagai pandangan untuk membentuk pandangan yang baru mengenai dunia. Oleh karena itu, kebenaran menjadi polydox – penekanan pada self-authority or autonomy – di mana kita menjumpai beragam penafsiran atas sebuah kisah atau peristiwa tertentu.
Kenyataan di atas bergulir di dalam sejarah seiring berkembangnya proses globalisasi yang, dengan berbagai perkembangan teknologi, membuat dunia semakin kecil (dekat). Selain itu, tantangan perubahan iklim (climate change) juga mendorong pergeseran tersebut. Menurut Bauman, perubahan iklim membuat manusia mulai berpikir bahwa: (1) mereka semua pada dasarnya adalah satu komunitas dan (2) alam tidak bisa dikuasai oleh manusia (unpredictable). Ini menabrak posisi ilmu pengetahuan yang memandang alam bisa dikendalikan atau juga posisi agama yang memandang bahwa manusia bisa mengatur alam (steward of nature). Perkembangan ini kemudian melahirkan kesadaran bahwa pengetahuan sesungguhnya muncul dari konteks; perbedaan konteks akan melahirkan perbedaan pemahaman mengenai dunia. Di sini berlangsung pergeseran dari apa yang diyakini sebagai certainty (absolute truth) ke agnosticism dan kebangkitan hal-hal yang bersifat misteri sebagaimana dijumpai dalam agama. Inilah abad pasca sekular, abad di mana mystery and wonder tampil ke permukaan.
Bauman kemudian mengangkat dua jenis pemikiran keagamaan yang menunjukan bagaimana agama bergumul dengan pergeseran di atas, yakni terkait bangkitnya uncertainty dan persoalan-persoalan lingkungan. Kedua pemikiran tersebut adalah (1) religion and ecology dan (2) religious naturalism. Pada pemikiran yang pertama (religion and ecology), manusia dan alam dipandang tidak berada secara terpisah, namun keduanya senantiasa hadir bersama-sama dalam bentuk nature-culture. Di sini agama memasuki apa yang disebut ecological phase, yakni fase di mana agama tidak sekedar dibayangkan dalam hubungan antarmanusia. Namun, lebih dari itu, agama dipahami dalam keterkaitan dengan segala hal yang ada di muka bumi. Apa yang berlangsung di sini adalah manusia kembali memberi perhatian pada agama dengan mengakarkannya (regrounding) ke dalam komunitas; termasuk memobilisasi berbagai organisasi keagamaan untuk aksi lingkungan hidup (environmental action). Bauman misalnya mencontohkan The Forum on Religion and Ecology yang mengangkat berbagai tradisi keagamaan dan responnya terhadap isu ekologi. Selain itu, ada juga organisasi seperti The Islamic Foundation For Ecology And Environmental Sciences (IFEES) yang memberi perhatian pada persoalan Islam dan ekologi. Organisasi ini mempromosikan gaya hidup (aksi) ramah lingkungan dalam konteks Islam, seperti misalnya eco-halal, enviromental haram dan green hajj. Gerakan serupa juga ditemukan pada organisasi Coalition on the Environment and Jewish Life (COEJL) – mempromosikan green life dalam konteks Yudaisme – dan Interfaith Power & Light yang membantu lembaga keagamaan dan universitas mewujudkan green building; terkait dengan penggunaan energi ramah lingkungan. Bagi Bauman, pemikiran seperti ini (religion and ecology) membantu kita untuk membuat agama semakin hijau (greening religion) dan berakar di dalam komunitas.
Sementara bentuk yang kedua, yakni religious naturalism, muncul dari pemikiran bahwa agama-agama yang ada saat ini telah menjadi bagian dari masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan agama baru, yakni religious naturalism. Pemikiran seperti ini, salah satunya, muncul dari gagasan mengenai emergence and evolution di mana evolusi dipandang sebagai sumber dari spiritualitas. Di sini kehidupan diyakini muncul (emergence) dari samudra raya dan bergerak dari bentuk yang sederhana menuju yang bentuk kompleks (evolution); gagasan ini bisa dilhat dalam buku seperti The Sacred Depths of the Nature dan The Simbolic Species.
Contoh lain yang berada dalam konteks religious naturalism adalah cara pandang yang melihat environmentalism sebagai spiritualitas itu sendiri. Oleh karena itu, ambil bagian dalam aksi daur ulang (recycling), penanaman pohon dan hidup bersahabat dengan bumi – sebagai praktik asketis – dipandang sudah bersifat spiritual. Dengak kata lain, tindakan (aksi) merawat bumi dilihat sebagai bentuk ritual dari agama. Cara berpikir seperti ini bisa dilihat pada gagasan restoration ecology – diangkat Bill Jordan – yang ingin mengembalikan alam (ekosistem) pada bentuk sebelumnya, yakni sebelum berkembangnya industrialisasi (pre-industrial status). Atau, kita juga bisa melihat cara berpikir environmentalism dalam spiritualitas Gaia (Gaian spirituality); berbasis pada tradisi Yunani kuno mengenai Gaia sebagai simbolisasi bumi. Spiritualitas ini memandang bahwa alam adalah organisme yang hidup (living organism), sementara manusia adalah salah satu bagian dari organisme tersebut (alam). Selain kedua pandangan di atas, religious naturalism juga bisa dijumpai pada sejumlah orang yang melihat konteks alam semesta (universe) sebagai sumber spiritualitasnya. Peristiwa big bang misalnya dipandang sebagai titik awal kelahiran alam semesta yang kemudian berproses selama 13 milyar tahun dan melahirkan manusia sebagai makhluk yang hidup di muka bumi. Dalam konteks ini, manusia menjadi bagian dari alam semesta yang berproses selama milyaran tahun. Hal yang menarik dari cara berpikir ini, sebagaimana diungkapkan oleh Bauman, adalah spiritualitas justru berkembang dari penerapan ilmu pengetahuan modern.
Apabila cara berpikir yang pertama (religion and ecology) membantu kita membuat agama semakin hijau dan berakar dalam komunitas, cara berpikir yang kedua (religious naturalism) membantu kita untuk bersikap kritis terhadap tradisi keagamaan. Selain itu, religious naturalism juga membantu kita mendorong agama-agama untuk terus bergerak (need to do more) dalam konteks ekologi. Oleh karena itu, Bauman memandang kedua cara berpikir ini sangat membantu kita untuk terus bergumul dengan persoalan ekologi.
Pada masa kini, kita juga menjumpai beberapa tren yang mempelihatkan bagaimana ekologi berdampak terhadap upaya manusia memikirkan dunia di mana dia hidup. Bauman mengangkat beberapa contoh, misalnya:
1)    Urban Ecology: memberi perhatian pada studi mengenai kota sebagai organisme yang hidup (living organism).
2)    Disaster Studies: studi yang memberi perhatian pada upaya membaca bencana (disaster) dalam konteks human-natural. Di sini bencana tidak dibaca dalam konteks penghakiman yang berat sebelah, baik penghakiman terhadap alam atau terhadap manusia, melainkan dibaca secara bersamaan mengingat keduanya (manusia dan alam) ada bersamaan-sama.
3)    Animals and Religion: studi di wilayah etika mengenai bagaimana manusia seharusnya memperlakukan hewan, sampai pada mempelajari apakah hewan memiliki agama.
4)   Climate Change and Justice: memberi perhatian pada persoalan keadilan bukan hanya bagi manusia, namun juga bagi alam. Di sini istilah the poor (‘yang miskin’) dihubungkan dengan alam, dan karenanya agama harus bertindak adil kepada alam.
5)   Globalization and Pluralism: fokus pada studi mengenai globalisasi dan pluralisme dalam konteks agama-agama dan ekologi.
6)   Queer Studies and Religion and Ecology: studi mengenai bagaimana penindasan terhadap perempuan, alam dan kalangan homoseksual berhubungan dengan struktur patriakal di dalam masyarakat. Di sini sistem patriakal dipandang hidup dalam struktur masyarakat dalam bentuk hirarki yang berbau seksis; masyarakat tersusun dari atas ke bawah mulai dari dewa yang digambarkan dalam bentuk laki-laki (male god), kemudian di bawahnya ada laki-laki dan mereka yang normal (straight), lalu perempuan, budak , hewan dan bumi. Struktur patriakal inilah yang banyak dikritik oleh kalangan feminis dan Queer.
7)   Earth/Animal Hermeneutics: memberi perhatian pada studi tekstual mengenai konteks ekologis dari penulisan alkitab, dan bagaimana bumi – dalam konteks tersebut  – diperlakukan.
8)   Technology and Religion: melihat pengaruh teknologi terhadap baik hubungan antarmanusia, maupun hubungan manusia dengan alam.
9)    Post-Colonial/Critical Theories and R&E: membaca hubungan manusia dengan alam dari sudut pandang post-kolonial, sebuah pembacaan yang menghasilkan kritik terhadap pemisahan alam dengan manusia. Bauman misalnya mencontohkan kritik terhadap kalangan environmentalist yang dipandang cenderung menekankan pemeliharaan alam (nature perserve) dan mengakibatkan  pemisahan penduduk asli (indigenous people) dari tanah mereka, dan ini merupakan bentuk kolonisasi.
Beberapa gambaran di atas memperlihatkan bagaimana krisis lingkungan hidup berdampak pada agama dan telah membentuk wajah agama sebagaimana tampak dalam respon agama terhadap persoalan-persoalan ekologis. Di sini penjelasan Bauman memberikan alur yang menarik untuk melihat seperti apa peta persoalan ekologis dan dampaknya terhadap wajah agama. Bahkan, penjelasan Bauman seperti menyentil kita bahwa persoalan ekologis sesungguhnya bukan sekedar persoalan yang bersifat teknis; seperti hanya mempersoalkan penggunaan plastik, menanam pohon, daur ulang dan sebagainya. Bauman menarik persoalan ekologi ke wilayah sistem berpikir yang bergulir di abad XX dan XXI di mana masalah lingkungan mengakibatkan bergesernya paradigma dalam membaca relasi manusia dan bumi. Ini terlihat dalam keragaman cara pandang dan tren yang diurakan di atas. Dalam konteks ekonomi pun, menurut Bauman, kita bisa melihat beberapa kritik yang memandang bahwa perkembangan ekonomi seharusnya sesuai dengan realitas ekologi, bukan sebaliknya di mana pasar menjadi begitu superior. Di sini Bauman merujuk, sebagai contoh, pada: (1) ajaran sosial Katolik,  (2) ajaran mengenai economy of kingdom of God di mana ekonomi dibaca secara berbeda dengan kapitalisme, dan (3) kritik kalangan Marxis yang memandang bahwa kekristenan harus berhati-hati dengan kecenderungan kapitalistiknya dan lebih memberi perhatian pada kebutuhan bersama manusia. Dengan kata lain, berbagai kritik yang berkembang di abad XX dan XXI – terhadap realitas sosial, politik dan ekonomi – sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari pergeseran paradigma yang bersumber dari persoalan ekologi.