Monday 5 August 2013

Keberadaan, Fungsi dan Peran Jabatan Pendeta di dalam Gereja (internal) dan Masyarakat (eksternal)


(Catatan Diskusi 10 Juni 2013)



Upaya memahami keberadaan, peran dan fungsi pendeta ― baik di tengah jemaat (internal) dan masyarakat (eksternal) ― rasanya tidak mungkin dilakukan tanpa meletakkanya dalam realitas sejarah di mana berbagai perkembangan berlangsung di dalamnya. Apabila tidak, sebagaimana diingatkan oleh Pdt. Yusak Soleiman, maka kita dapat terjebak dalam pemutlakan maupun penisbian berbagai jabatan yang ada di dalam gereja. Selain itu, pendekatan sejarah juga membantu kita melihat potret pergulatan teologis mengenai jabatan gereja di dalam konteksnya.
Dalam konteks pergulatan teologisdari perspektif hukum gerejaupaya memahami jabatan pendeta, termasuk jabatan lainnya di dalam gereja, harus ditempatkan dalam bingkai teologi jabatan yang bottom line-nya adalah eklesiologi. Dari sini, menurut Pdt Lazarus Purwanto, pergumulan mengenai teologi jabatan kemudian menemukan bentuk operasionalnya di dalam Tata Gereja (Tager) sebagai produk teologi gereja. Dengan kata lain, posisi eklesiologis (rumusan teologis-sistematis tentang gereja yang dalam ranah gerejawi berfungsi sebagai identitas gereja) memiliki peran strategis terkait upaya gereja menggumuli teologi jabatan serta menuangkannya secara operasional di dalam Tager. Ini terlihat jelas dalam bagan yang dibuat oleh Pdt. Purwanto.
Di sini penggunaan istilah jabatan, menurut Pdt. Purwanto, memiliki persoalan tersendiri mengingat: (1) istilah jabatan cenderung memiliki denotasi kuasa di dalamnya, (2) tidak ada padanannya dengan istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru dan (3) adanya pendakuan teologis, terhadap istilah jabatan gerejawi, yang membedakannya dari penggunaan istilah jabatan di dunia sekuler. Oleh karena itu, istilah jabatan gerejawi ditempatkan dalam bingkai ministerial yang memuat tiga hal penting, yakni: (1) panggilan Allah melalui gereja, (2) pengesahan (peneguhan/penahbisan) melalui gereja dan (3) untuk pembangunan gereja dalam lingkup yang luas serta pembangunan jemaat dalam lingkup setempat. Di sini fungsi ministerial jabatan gerejawi dihubungkan Pdt. Purwanto dengan fungsi ministerial yang lebih luas, yakni panggilan Allah bagi semua orang percaya untuk menjalankan panggilan misioner di tengah gereja dan masyarakat. Dengan demikian, ministerial yang lebih luas merupakan area berteologi yang berfungsi sebagai basis untuk memahami apa itu pelayan. Posisi ini sekaligus menegaskan bahwa apa yang disebut ministerial, di mana jabatan gerejawi masuk di dalamnya, selalu bersifat misioner; membentuk dan membangun (konstitutif) kehidupan gereja dan masyarakat.

Mengingat fungsi dan peran ministerial dihubungkan dengan pangilan Allah melalui gereja bagi semua umat percaya, dari sini juga jabatan gerejawi (pendeta, penatua dan diaken) dipahami; orang-orang yang dipanggil secara khusus (ministeri khusus) untuk mengelola/menjalankan kehidupan gereja. Mereka dipanggil oleh Allah melalui gereja dan ― dalam konteks tradisi reformed ― ditempatkan dalam bidang yang sama (non-hirarkis), yakni kemajelisan dimana kepemimpinan kolektif-kolegial berlangsung di dalamnya. Istilah kolektif-kolegial didefinisikan lebih lanjut oleh Pdt. Purwanto:
Sifat kolektif memberikan tekanan pada kesatuan lembaga majelis. Secara umum, kolektivitas berarti bahwa semua pendeta, diaken, dan penatua berpikir dan bertindak melayani dalam satu kesatuan dan dalam kebersamaan ….
Sifat kolegial memberikan tempat dan menghargai keberadaan dan peran pendeta, diaken, dan penatua dalam melakukan pelayanan mereka masing-masing …. Dalam kolegialitas yang berada dalam bingkai kolektivitas, setiap pejabat gerejawi justru dapat menjalankan tugas-tugas pelayanan mereka masing-masing secara mandiri namun tetap dalam kebersaman, kesatuan, dan kemitraan satu terhadap yang lain.
Terkait penekanan kepemimpinan kolektif yang yang diletakkan dalam kemajelisan, Pdt. Soleiman mengangkat sebuah catatan yang menarik dari Philip Benedict mengenai bahaya atau tantangan kembalinya klerikalisme seiring menyebarnya sistim presbyterial-synodal, yakni tantangan yang terkait dengan berkuasanya kaum klerus (gembala dan para pengajar) dalam kehidupan gereja, sementara para penatua dan diaken hanya mengurusi kehidupan jemaat sehari-hari. Persoalan ini memiliki akar yang panjang, yakni terkait dengan situasi yang berkembang pada masa pra-reformasi dan masa-masa sesudahnya. Pada masa tersebut (pra-reformasi), gerak hirarki-monarkis berjalan bersamaan dengan terbentuknya perbedaan yang tajam antara kaum rohaniwan dan umat. Ini tampak pada beberapa hal yang berlangsung pada masa itu:

(1) Imam utama umumnya tidak hidup dekat dengan umat, mereka menikmati pendidikan tinggi dan menjadi tokoh terpandang dalam masyarakat.

(2) Para imam lokal tidak mimiliki kompetensi teologi yang baik (kurang  terdidik terdidik) dan hanya bertugas untuk melayangkan sakramen serta disiplin, tidak mengurusi doktrin. Bahkan ― di tingkat lokal ― kadang imam terlibat dengan hal-hal tahayul, memiliki gundik dan persoalan moral lainnya.
(3) Berbagai diskusi teologi yang berkembang saat itu hanya dinikmati oleh para ilmuan/teolog dan bangsawan.
(4) Posisi aktif dimiliki oleh para imam dalam penyelenggaraan keselamatan, sementara umat hanya pasif.

Jabatan-jabatan yang ada (uskup, penatua dan diaken) sudah mulai terbentuk pada abad ketiga, seiring dengan penguatan tradisi apostolik ― akhir abad pertama dan awal abad kedua ― untuk merespon persoalan ajaran dan kesatuan umat; uskup menjadi penerus para rasul yang dalam menjalankan tugasnya sebagai imam dibantu penatua dan diaken. Pada abad-abad pertengahan berlangsung penguatan gerak hirarki-monarkis yang menempatkan uskup sebagai imam utama (high priest), kemudian penatua menjadi imam pembantu (subordinate priest), sementara diaken tidak masuk dalam pastoral ministry; statusnya tidak sama dengan uskup dan imam. Hal ini masih ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan monastik yang berkembang menjadi ukuran kesalehan seorang imam. Di samping berbagai persoalan sosial-politik yang ada, gerak hirarki-monarkis dalam jabatan gerejawi dan kesenjangan antara rohaniwan dengan umat  ― bahkan kesenjangan antara uskup dan imam lokal ― menjadi bagian dari kerumitan yang ikut melahirkan reformasi abad XVI.
Sejumlah persoalan di atas direspon oleh gerakan reformasi ― terkait perkembangan di Jenewa pada masa Calvin ― dengan melakukan beberapa pembenahan dalam kehidupan gereja. Terkait pemerintahan gereja, sistem hirarki-monarkis diganti dengan sistim yang mengadopsi model pengelolaan kolektif (yang aristokratis) di Jenewa, yakni melalui dewan kota di mana perwakilan masyarakat ― umumnya orang-orang terpandang ― duduk di dalamnya.  Model ini masuk dalam pemerintahan gereja melalui konsistori di mana perwakilan dari beberapa kelompok duduk di dalamnya; kelompok rohaniwan/teolog mengisi posisi gembala dan pengajar, kelompok aristokrat ― yang ada di dewan kota ― mengisi diaken (diambil dari procurators kota) dan penatua (diambil dari anggota dewan kota), sementara wakil umat juga menjadi bagian dari penatua. Dengan demikian, keseimbangan antartiga kekuatan (penguasa, masyarakat, dan kaum klerus terpelajar) hadir dalam konsistori, sekaligus menunjukan berakhirnya hak-hak istimewa kaum klerus.

Selain pemerintahan gereja, pembenahan juga dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan para pendeta. Mereka (para pendeta) harus memahami kitab suci, menguasai bahasa, sejarah filsafat, masyarakat, dan gereja. Mereka juga harus memiliki kemampuan untuk mengajar, berdebat, menjadi teladan dan mendampingi umat, serta tentunya lulus ujian konsistori; selain tentunya calon harus disetujui oleh dewan kota. Kualifikasi yang tinggi membuat terjadinya kesenjangan, dalam bidang teologi, antara para klerus (pendeta/pengajar) dengan kalangan non-klerus dalam konsistori. Bahkan, setelah terjadi pemberontakan petani (1525), lahir keputusan ― dalam sinode gereja Prancis pada tahun 1571 ― yang menekankan bahwa urusan doktrin hanya pendeta dan guru besar teologi yang memiliki hal dalam persidangan.


Seiring dengan menyebarnya sistim presbyterial-synodal ke berbagai tempat, kesenjangan di bidang teologi membawa persoalan tersendiri, misalnya bobot teologi dari persidangan sangat didominasi oleh kaum klerus (pendeta/pengajar). Sementara dipihak lain, penatua dan diaken hanya mengurusi kehidupan sehari-hari umat. Inilah yang disebut bahaya klerikalisme dalam kehidupan gereja. Selain persoalan klerikalisme, kesenjangan seperti ini dapat juga berunjung pada penentuan ajaran gereja berdasarkan voting di mana mereka yang tidak memiliki kualifikasi teologi ikut dalam pengambilan suara tersebut. Atau, suara emosional dari umat bisa masuk dan menentukan hasil sebuah persidangan; baik ditingkat jemaat, klasis dan sinode. Dengan kata lain, kesenjangan yang ada memiliki implikasi terhadap hilangnya keseimbangan di dalam persidangan. Di sini Pdt. Soleiman mengusulkan perbaikan kualitas pendidikan dari berbagai pihak yang terlibat di dalam persidangan. Dalam pandangan Pdt. Purwanto, di sinilah dibutuhkan kompetansi dari para pendeta, penatua dan diaken agar peran ministerial mereka dapat membentuk dan membangun kehidupan gereja dan masyarajat.


Selain masalah kualitas pendidikan, Pdt. Soleiman juga menyoroti perlunya upaya kontekstual dalam memahami peran pejabat gerejawi. Hal ini mengingat kadang para pejabat gerejawi seperti kesulitan memahami dan menempatkan peran mereka saat berhadapan dengan sejumlah persoalan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Posisi ini mengingatkan pada kritik Pdt. Essy Eisen terhadap praktek sempal dari fungsi dan peran pendeta; fungsi dan peran pendeta cenderung diikat dalam berbagai kegiatan ritual gereja sehingga terjadi kebingungan menempatkan perannya dalam misi yang transformatif di tengah gereja dan masyarakt, di mana aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya tidak bisa dikesampingkan.


Dalam rangka menyoroti persoalan di atas, Pdt. Eisen menghubungkan jabatan gerejawi, khususnya pendeta, dengan pembangunan jemaat dalam bingkai eklesiologi yang trinitaris. Bertolak dari keyakinan akan gerak dinamis dari persekutuan ilahi (koinonia) ― antara bapa, anak dan roh kudus ― posisi trinitaris diyakini Pdt. Eisen sangat menekankan mutual interpenetration (kesalingterhubungan) antar tiga pribadi. Dengan demikian, pendekatan ini tidak memberi tempat pada subordinasi atau pemisahan peran ketiga pribadi tersebut; ketiganya hadir dan bertidak secara bersamaan. Dalam konteks eklesiologi, perspektif trinitarian diyakini akan menempatkan seluruh individu dalam sebuah persekutuan yang bergerak secara bersama serta saling mengisi satu dengan yang lain (koinonia yang hidup). Pada saat yang bersamaan, posisi ini juga akan menempatkan relasi antarjabatan di dalam gereja ― termasuk  relasi antargereja maupun relasi gereja dengan komunitas lainnya ― bergerak secara partisipatoris dan dialogis dalam mewujudkan karya bersama. Implikasi dari posisi ini, menurut Pdt. Eisen, adalah peran pejabat gerejawi ― khususnya pendeta ― yang terbuka, dialogis serta memberi ruang bagi perbedaan dalam relasi dengan berbagai pihak; baik internal gereja maupun eksternal. Dengan demikian, peran pendeta tidak dibaca dalam kegiatan ritual gereja semata, namun memiliki jangkauan luas untuk mewujudkan gerak partisipatoris dan dialogis.


Dalam konteks pengalaman gereja Katolik Roma, sebagaimana diungkapkan oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm., relasi antarjabatan (uskup, imam dan diakon) dibahasakan dengan istilah mitra, bukan istilah pembantu; perkembangan pasca konsili Vatikan II. Kemitraan tersebut diikat dalam persekutuan sakramental yang diyakini bersumber dari perjamuan Yesus dengan murid-muridnya. Ini bisa dilihat pada penjelasan Rm. Bosco:
Terhadap para imam, uskup bukanlah ‘tuan besar’ atau penguasa, tetapi bersama mereka uskup membentuk komunitas sakramen; menjadi rekan kerja dan penasehat uskup di bidang liturgi dan pastoral untuk melayani Umat beriman sebaik-baiknya
Dalam semua literatur purba diakon adalah pembantu uskup …. Kini telah terjadi perubahan, dan diakon de facto menjadi rekan kerja imam, tetapi hubungan utamanya tetap dengan uskup…
Menariknya, posisi kaum klerus dan umat (non-klerus) ditarik pada sebuah titik yang sama, yakni anugerah imamat rajawi yang diberikan kepada seluruh umat melalui baptisan. Posisi ini mirip dengan apa yang diungkapkan Pdt. Purwanto bahwa dasar dari jabatan gerejawi adalah panggilan Allah bagi seluruh umat (ministerial yang lebih luas). Bagi Rm. Bosco, setiap orang (tertahbis dan non-tertahbis) memiliki hak dan tanggungjawab untuk berperan secara aktif dalam perayaan liturgis dan menjadikan hidupnya sebagai perwujudan kasih Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, peran liturgis dipahami secara menyatu dengan kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan gereja, peran mereka yang tidak tertahbis (awam) dijelaskan demikian oleh Rm. Bosco: “…tugas pelayanan lebih dibuka bagi awam dan diresmikan lewat pelantikan a.l.lektor, akolit (pelayan altar), asisten imam untuk memimpin Ibadat Sabda, membagi dan menghantar Komuni kudus, viaticum, dan memimpin Upacara Pemakaman. Di samping itu umat aktif berperan sebagai pemazmur tanggapan, paduan suara, koster, komentator, petugas kolekte, penyambut jemaat dan seremoniarius…”


Mereka yang tertahbis (uskup, imam dan diakon), masing-masing memiliki peran berdasarkan kedudukannya. Uskup berperan sebagai pemimpin umat ― penerus rasul ― dalam menjalankan karya imam agung (Yesus Kristus), yakni dalam (1) pemberitaan (nabi), (2) menguduskan (imam) dan (3) mengatur (gembala).[1] Di sini uskup dipandang sebagai puncak partisipasi dalam imamat agung dan ditetapkan sebagai: “pemimpin  (moderator), pelayan (dispensator) dan penjaga (custos) liturgi. Ia harus berhomili dan mengajar, dan di dalam doa serta korban ia harus memohon rahmat Allah bagi umat” (Rm. Bosco). Dalam rangka menggembalakan kehidupan umat percaya, para imam[2] (paroki) diikat dalam persekutuan sakramental dengan uskup dalam rangka pelaksanaan imamat Kristus melalui pewartaan Injil, mengajar, melayani sakramen, merawat jemaat dan merayakan kurban Tuhan. Sementara peran diakon, yang bersama-sama imam membentuk persekutuan sakramental, dijelaskan demikian oleh Rm. Bosco:
Diakon memiliki pelayanan rangkap tiga: pelayanan Liturgi, pewartaan Sabda/pengajaran dan Amal kasih. Dalam Liturgi ia membantu uskup dan imam dalam Ekaristi (memaklumkan Injil, membagikan Komuni). Ia membaptis, memberkati Perkawinan, mengirim komuni bagi orang sakit dan memimpin upacara pemakaman; memimpin upacara-upacara pemberkatan/sakramentalia.
Alur di atas menempatkan tugas-tugas gerejawi ― baik yang dilakukan kalangan tertahbis maupun non-tertahbis ― berada dalam dalam anugerah imamat rajawi yang diberikan kepada semua orang, di mana para pejabat gerejawi (tertahbis) menjadi orang-orang yang secara khusus dipanggil melaksanakan tugas-tugas imamat untuk membangun umat Allah. Dalam konteks ini, hanya tahbisan uskup dan imam yang dipahami berlangsung (meterai) seumur hidup. Namun, untuk masa pelayanan, uskup dibatasi sampai umur 75 tahun. Sementara imam, masa pelayanannya ditentukan berdasarkan kebijaksanaan uskup; sekalipun sudah 75 tahun namun bila dipandang masih sehat maka sang imam tetap diberi kesempatan untuk melayani umat. Di sini gereja Katolik Roma tidak mengenal ibadah emeritasi bagi uskup dan imam. Ini berbeda dengan praktek yang selama ini berlangsung di GKI di mana emeritasi selalu diadakan dalam sebuah ibadah khusus. Bagi Pdt. Purwanto, ibadah emeritasi diadakan karena GKI membedakan masa jabatan pendeta ­ berlangsung seumur hidup dan masa pelayanan pendeta yang dibatasi oleh usia atau lama masa pelayanan. Dengan kata lain, emeritasi berhubungan dengan masa pelayana pendeta, bukan masa jabatan. Penjelasan ini agak mirip dengan apa yang diutarakan Rm. Bosco; terkait masa jabatan serta masa pelayanan uskup dan imam. Namun, karena jabatan uskup dan imam dipahami oleh gereja Katolik Roma sebagai jabatan pelayanan (Nomen est operis non honoris) ― bukan jabatan kehormaatan maka tidak dibutuhkan penghormatan khusus dalam bentuk ibadah emeritasi. Di sini nampaknya gereja Katolik Roma melihat masa jabatan dan masa pelayanan sebagai dua hal yang saling berhubungan, keduanya dipahami sebagai partisipasi dalam imamat Kristus melalui penahbisan (meterai).

Perbincangan mengenai jabatan kali ini nampaknya memunculkan beberapa hal yang membutuhkan perbicangan lebih lanjut, misalnya persoalan hubungan pejabat gerejawi khususnya pendeta dengan Tager mengingat kadang kebebasan pendeta terhalang berbagai aturan di dalam Tager; cara berpikir institusional dirasakan terlalu dominan sehingga melemahkan peran ministerial dari seorang pendeta. Selain itu, ada juga kebutuhan untuk membicarakan Tager dan teologi jabatan secara lebih kontekstual, dengan memperhatikan berbagai perkembangan di tanah air; tidak hanya memberikan perhatian kepada persoalan politik, namun juga tantangan yang terkait dengan pergerakan korporasi. Kemudian, persoalan seperti ibadah emeritasi maupun pelaksanaan penahbisan pendeta nampaknya perlu dipikirkan kembali. Dalam kebiasaan yang berlangsung di gereja Katolik Roma, penahbisan dilaksanakan di hadapan umat pada hari minggu mengingat dasar dari penahbisan adalah untuk pelayanan. Sementara kebiasaan di GKI, penahbisan dilaksanakan pada hari Senin. Praktek ini disinyalir Pdt. Soleiman dipengaruhi oleh kebiasaan dari Amerika, khususnya praktek wisuda di dunia akademis, sehingga pelaksanaan penahbisan menjadi mirip dengan pesta; [3] dihiasi dengan foto dan makan-makan.



[1] Uskup dipilih oleh para uskup se-provinsi atau se-regio, biasanya dipilih tiga nama, yang kemudian diajukan ke Sri Paus untuk dipilih salah satu dari nama-nama tersebut.

[2] Imam dipilih dan ditempatkan oleh uskup bersama dewan imam yang ada di sebuah wilayah. Pergantian (rotasi) imam biasanya dilaksanakan tiap lima tahun, namun setiap imam harus siap sedia dipindahkan kapan saja dan di mana saja. Setiap tahun, sebelum Kamis putih, imam mengulang janji imamat yang menegaskan beberapa hal, yakni: (1) menjalin hubungan yang akrab dengan Kristus, (2) melaksanakan pewataan tanpa mengutamakan uang, (3) merayakan perayaan liturgis, (4) melaksanakan tanggungjawab pastoral dan (5) taat pada uskup.


[3] Bagi Pdt. Soleiman, dalam tradisi reformasi Calvin, penahbisan pendeta dilaksanakan dalam persidangan Klasis setelah setelah ujian peremtoar.