Tuesday 13 August 2013

Tóngzhi Theologi: A Chinese Queer Theology

 (Catataan Diskusi 7 Agustus 2013)

Istilah Tóngzhi sepertinya tidak terlalu dikenal dalam perbincangan teologi di Indonesia.
Namun,  istilah ini sesungguhnya memuat pergumulan yang dekat dengan tantangan dan perbincangan teologi di Indonesia. Ini bisa dilihat pada apa yang dikatakan oleh DR. Rev. Ngeo Boon Lien (pastor dari Metropolitan Community Churches in New York (MCCNY): “Tóngzhi is about ambition to build a better society to promote love and justice”. Di sini persoalan yang disoroti bukan hanya seputar kesetaraan (terkait masalah gender dan sexual orientation), namun juga soal lingkungan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan. Oleh karena itu, bagi O.Young nama panggilan DR. Rev. Ngeo Boon Lien Tóngzhi theology dapat berfungsi sebagai sebuah teologi politik. Pergumulan inilah yang membuat Tóngzhi  theology terasa dekat dengan pergumulan teologi di Indonesia.

Kata Tóngzhi  berasal dari bahasa Cina yang berarti ‘comrade’ (teman). Kata ini tidak memiliki konotasi seksual sama sekali,  namun di Cina dan Hongkong kata ini sering digunakan untuk menyebut kalangan homoseksual. Menurut O. Young, ini dikarenakan kata Tong pada Tóngzhi memiliki arti ‘the same’ (sama), kemudian di Cina kalangan homosekual sering disebut dengan istilah Tóngxìng'ài  yang berarti ‘same sex love’ (cinta sesame jenis). Hal ini membuat kata Tóngzhi  kemudian dihubungkan dengan kalangan homoseksual.  

Bagi O. Young, kata Tóngzhi  sesungguhnya memiliki makna yang sangat luas dan dalam; tidak berputar pada orientasi seksual semata. Hal ini bisa dilihat dari jangkauannya yang bergerak melampaui keterbatasan yang ada pada queer theology. Kata queer, menurut O. Young, berasal dari istilah slang yang berkembang di Amerika (USA). Kata ini memiliki arti ‘stange, weird, umumnya digunakan untuk merendahkan orang-orang yang dipandang bergerak (terkait prilaku) di luar norma yang diterima masyarakat (out of norm); terkait seksisme, rasisme dan heteroseksime. Kata ini kemudian digunakan oleh kalangan homoseksual untuk mendefinisikan diri mereka, sekaligus menegaskan bahwa mereka bukan orang-orang yang aneh dan tidak bermoral. Artinya, melalui kata queer, mereka melakukan reclaiming social identity dalam rangka menegaskan bahwa mereka tidak setuju dengan praktek seksisme, rasisme dan heteroseksisme (out of norm). Oleh karena itu, O. Young mengatakan: “If I was deemed by society as strange, weird, out of norm than it means something  good because I disagree with racism, sexism of society”. Di sini  O. Young mencatat keterbatasan yang ada dalam queer theology, yakni terlalu terfokus pada persoalan gender dan seksualitas. Tóngzhi theology bergerak melampaui keterbatasan tersebut dengan menekankan pergumulan – dari berbagai kalangan, apapun orientasi seksualnya – untuk memperjuangkan kasih dan keadilan demi terwujudnya masyarakat yang baik.  Tóngzhi adalah soal menghadirkan masyarakat yang baik, sekaligus menjadi kritik terhadap orang-orang yang mengidentikan homoseksual dengan napsu seksual semata. Dalam konteks ini, O. Young mengatakan: “if we have the same God, the same fight than we are Tóngzhi”.

Ada dua pendekatan yang diangkat O. Young dalam rangka menggumuli Tóngzhi theology. Pendekatan pertama berada pada wilayah hermeneutik, khususnya terkait dengan apa yang disebutnya sebagai “searching for reasonable interpretation”. Di sini O. Young menekankan pentingnya menggali metode tafsir yang memberi perhatian pada konteks sosio-historis Alkitab. Hal ini diyakininya akan membantu si penafsir mendudukan tiap teks pada tempatnya sehingga mengurangi bias yang seringkali terjadi dalam penafsiran Alkitab. O. Young misalnya mendudukan kisah Sodom dan Gomora pada persoalan perkosaan masal, bukan persoalan orientasi seksual. Demikian juga dengan kisah penciptaan yang didudukkan O. Young bukan dalam konteks orientasi seksual, namun pada pergumulan manusia mengenai sang pencipta. Contoh lain bisa juga dilihat pada upaya O. Young memahami Imamat 18:22 yang diletakkan pada persoalan clean dan unclean dalam ritual, khususnya terkait praktek hubungan seksual yang berlangsung di tempat/kuil pemujaan pada masa itu. Dengan kata lain, persoalan yang ada dalam Imamat 18:22 lebih pas didudukan dalam konteks sorotan terhadap abomination (clean dan unclean) yang dipraktekkan dalam kuil pemujaan, bukan dalam konteks moralitas.

Terkait dengan penjelasan di atas, O. Young menambahkan pentingnya melihat persoalan konstruksi identitas sosial secara sosiologis. Baginya, pada masa penulisan Alkitab, konstruksi identitas sosial berdasarkan orientasi seksual belum ada sehingga sorotan lebih banyak terarah pada persoalan prilaku sosial. Hal ini membuat LGBT tidak dibaca dalam bingkai identitas sosial. Istilah homoseksual misalnya – menurut O. Young – baru muncul pada tahun 1869 sehingga sebelumnya homoseksual tidak dikenal sebagai identitas sosial, dan karenanya hal tersebut belum menjadi sebuah norma di dalam masyarakat. Ini berbeda dengan perbudakan di mana kita bisa menemukan metafora mengenai ketaatan hamba terhadap tuan di dalam Alkitab, dan karenanya menghapuskan perbudakan pun belum menjadi norma pada masa itu. Dengan kata lain, kita tidak bisa begitu saja mengutip teks-teks Alkitab – untuk menyerang LGBT – dengan mengesampingkan konteks sosio-historis di mana konstruksi identitas berbasis orientasi seksual belum dikenal pada masa itu. Apabila ini dilakukan maka kita akan menggunakan Alkitab secara simplistik untuk membaca dan menghakimi LGBT dalam bingkai prilaku (sesuatu yang bisa diubah), bukan dalam bingkai identitas sosial yang terhubung dengan human nature.

Selain persoalan hermeneutik, pendekatan kedua yang penting dalam menggumuli Tóngzhi theology adalah posisi teologis yang menegaskan bahwa Allah adalah kasih (God is love). Dalam posisi ini, Allah dipahami sepenuhnya reasonable. Oleh karena itu, setiap klaim maupun tindakan diskriminatif terhadap manusia harus dijelaskan berbasis pada posisi teologi tersebut (Allah adalah Kasih).  Misalnya, apabila Allah adalah kasih, lalu mengapa Allah dikatakan membenci LGBT? Di sini dibutuhkan sebuah pertanggungjawaban teologis yang bisa menjelaskan kedua hal tersebut, yakni (1) Allah adalah kasih dan (2) Allah membenci LGBT. Dengan kata lain, bagaimana menjelaskan secara teologis bahwa Allah yang maha kasih tersebut sangat membenci LGBT? Di sini O. Young sepertinya ingin menegaskan bahwa kalangan LGBT tidak bisa dipandang sebagai non-existence, dan karenanya tidak memiliki tempat di hadapan Allah yang maha kasih tersebut. Sebaliknya, di dalam Tóngzhi theology, keberadaan mereka justru direngkuh dan bersama-sama dengan yang lain menjadi rekan seperjalanan (companion) dalam mewujudkan masyarakat yang baik di mana kasih dan keadilan hidup di dalamnya.

***************************