(Catataan Diskusi 7 Agustus 2013)
Istilah Tóngzhi sepertinya tidak terlalu
dikenal dalam perbincangan teologi di Indonesia.
Namun, istilah ini sesungguhnya memuat pergumulan
yang dekat dengan tantangan dan perbincangan teologi di Indonesia. Ini bisa dilihat
pada apa yang dikatakan oleh DR. Rev. Ngeo Boon Lien (pastor dari Metropolitan Community Churches in New York
(MCCNY): “Tóngzhi is about ambition to build a better society to promote love and
justice”. Di sini persoalan yang disoroti bukan hanya seputar kesetaraan
(terkait masalah gender dan sexual
orientation), namun juga soal lingkungan dan pembebasan dari segala bentuk
penindasan. Oleh karena itu, bagi O.Young – nama panggilan DR. Rev. Ngeo Boon Lien – Tóngzhi theology dapat berfungsi sebagai
sebuah teologi politik. Pergumulan inilah
yang membuat Tóngzhi theology terasa dekat dengan
pergumulan teologi di Indonesia.
Kata Tóngzhi berasal dari bahasa Cina yang berarti ‘comrade’ (teman). Kata ini tidak
memiliki konotasi seksual sama sekali,
namun di Cina dan Hongkong kata ini sering digunakan untuk menyebut
kalangan homoseksual. Menurut O. Young, ini dikarenakan kata Tong pada Tóngzhi memiliki arti ‘the
same’ (sama), kemudian di Cina kalangan homosekual sering disebut dengan
istilah Tóngxìng'ài yang berarti ‘same sex love’ (cinta sesame jenis). Hal ini membuat kata Tóngzhi
kemudian dihubungkan dengan kalangan homoseksual.
Bagi O. Young, kata Tóngzhi sesungguhnya
memiliki makna yang sangat luas dan dalam; tidak berputar pada orientasi
seksual semata. Hal ini bisa dilihat dari jangkauannya yang bergerak melampaui keterbatasan
yang ada pada queer theology. Kata queer, menurut O. Young, berasal dari
istilah slang yang berkembang di
Amerika (USA). Kata ini memiliki arti ‘stange,
weird’, umumnya digunakan untuk merendahkan orang-orang yang dipandang
bergerak (terkait prilaku) di luar norma yang diterima masyarakat (out of norm); terkait seksisme, rasisme
dan heteroseksime. Kata ini kemudian digunakan oleh kalangan homoseksual untuk
mendefinisikan diri mereka, sekaligus menegaskan bahwa mereka bukan orang-orang
yang aneh dan tidak bermoral. Artinya, melalui kata queer, mereka melakukan reclaiming
social identity dalam rangka menegaskan bahwa mereka tidak setuju dengan
praktek seksisme, rasisme dan heteroseksisme (out of norm). Oleh karena itu, O. Young mengatakan: “If I was deemed by society
as strange, weird, out of norm than it means something good because I disagree with racism, sexism of society”. Di sini O. Young mencatat keterbatasan yang ada dalam
queer theology, yakni terlalu
terfokus pada persoalan gender dan seksualitas. Tóngzhi theology bergerak melampaui keterbatasan tersebut dengan
menekankan pergumulan – dari berbagai kalangan, apapun orientasi seksualnya –
untuk memperjuangkan kasih dan keadilan demi terwujudnya masyarakat yang
baik. Tóngzhi adalah soal menghadirkan masyarakat yang baik, sekaligus menjadi kritik terhadap
orang-orang yang mengidentikan homoseksual dengan napsu seksual semata. Dalam
konteks ini, O. Young mengatakan: “if we have the same God, the same fight than
we are Tóngzhi”.
Ada dua pendekatan yang diangkat O.
Young dalam rangka menggumuli Tóngzhi
theology. Pendekatan pertama berada pada wilayah hermeneutik, khususnya
terkait dengan apa yang disebutnya sebagai “searching for reasonable
interpretation”. Di sini O. Young menekankan pentingnya menggali metode tafsir
yang memberi perhatian pada konteks sosio-historis Alkitab. Hal ini diyakininya
akan membantu si penafsir mendudukan tiap teks pada tempatnya sehingga
mengurangi bias yang seringkali terjadi dalam penafsiran Alkitab. O. Young
misalnya mendudukan kisah Sodom dan Gomora pada persoalan perkosaan masal,
bukan persoalan orientasi seksual. Demikian juga dengan kisah penciptaan yang
didudukkan O. Young bukan dalam konteks orientasi seksual, namun pada
pergumulan manusia mengenai sang pencipta. Contoh lain bisa juga dilihat pada
upaya O. Young memahami Imamat 18:22 yang diletakkan pada persoalan clean dan unclean dalam ritual, khususnya terkait praktek hubungan seksual
yang berlangsung di tempat/kuil pemujaan pada masa itu. Dengan kata lain,
persoalan yang ada dalam Imamat 18:22 lebih pas didudukan dalam konteks sorotan
terhadap abomination (clean dan unclean) yang dipraktekkan dalam kuil pemujaan, bukan dalam konteks
moralitas.
Terkait dengan penjelasan di atas, O.
Young menambahkan pentingnya melihat persoalan konstruksi identitas sosial secara
sosiologis. Baginya, pada masa penulisan Alkitab, konstruksi identitas sosial berdasarkan
orientasi seksual belum ada sehingga sorotan lebih banyak terarah pada
persoalan prilaku sosial. Hal ini membuat LGBT tidak dibaca dalam bingkai
identitas sosial. Istilah homoseksual misalnya – menurut O. Young – baru muncul
pada tahun 1869 sehingga sebelumnya homoseksual tidak dikenal sebagai identitas
sosial, dan karenanya hal tersebut belum menjadi sebuah norma di dalam
masyarakat. Ini berbeda dengan perbudakan di mana kita bisa menemukan metafora mengenai
ketaatan hamba terhadap tuan di dalam Alkitab, dan karenanya menghapuskan
perbudakan pun belum menjadi norma pada masa itu. Dengan kata lain, kita tidak
bisa begitu saja mengutip teks-teks Alkitab – untuk menyerang LGBT – dengan
mengesampingkan konteks sosio-historis di mana konstruksi identitas berbasis
orientasi seksual belum dikenal pada masa itu. Apabila ini dilakukan maka kita
akan menggunakan Alkitab secara simplistik untuk membaca dan menghakimi LGBT
dalam bingkai prilaku (sesuatu yang bisa diubah), bukan dalam bingkai identitas sosial yang
terhubung dengan human nature.
Selain persoalan hermeneutik, pendekatan
kedua yang penting dalam menggumuli Tóngzhi
theology adalah posisi teologis yang menegaskan bahwa Allah adalah kasih (God is love). Dalam posisi ini, Allah
dipahami sepenuhnya reasonable. Oleh
karena itu, setiap klaim maupun tindakan diskriminatif terhadap manusia harus
dijelaskan berbasis pada posisi teologi tersebut (Allah adalah Kasih). Misalnya, apabila Allah adalah kasih, lalu
mengapa Allah dikatakan membenci LGBT? Di sini dibutuhkan sebuah
pertanggungjawaban teologis yang bisa menjelaskan kedua hal tersebut, yakni (1)
Allah adalah kasih dan (2) Allah membenci LGBT. Dengan kata lain, bagaimana
menjelaskan secara teologis bahwa Allah yang maha kasih tersebut sangat
membenci LGBT? Di sini O. Young sepertinya ingin menegaskan bahwa kalangan LGBT
tidak bisa dipandang sebagai non-existence,
dan karenanya tidak memiliki tempat di hadapan Allah yang maha kasih tersebut. Sebaliknya,
di dalam Tóngzhi theology, keberadaan mereka justru direngkuh dan bersama-sama
dengan yang lain menjadi rekan seperjalanan (companion) dalam mewujudkan masyarakat yang baik di mana kasih dan
keadilan hidup di dalamnya.
***************************