(Catatan
dan Beberapa Poin Diskusi LKKJ – 25 Maret 2013)

Terlepas dari kebingungan yang ada, Pdt.
Hadiwitanto berusaha mengingatkan satu hal yang penting dalam pengambilan
kebutusan, yakni selalu bergerak berdasarkan data mengingat data membantu kita
lebih terkontrol; tidak bergerak berdasarkan dugaan semata. Dari posisi ini,
Pdt. Hadiwitanto kemudian masuk pada persoalan kebingungan dalam membaca
data-data kuantitatif LKKJ. Hal ini dilakukannya dengan menarik LKKJ pada
konsep awal yang melatarbelakangi lahirnya LKKJ. Bagi Pdt. Hadiwitanto,
ketidakpahaman akan konsep yang ada di belakang pengumpulan data kuantitatif
akan mengakibatkan kebingungan dalam melakukan analisis. Ada dua istilah yang
dimunculkan Pdt. Hadiwitanto terkait upaya memahami konsep yang ada di belakang
LKKJ, yakni: (1) perjumpaan Tuhan dengan manusia sebagai CBG dan (2) kinerja
gereja. Pada kedua istilah inilah LKKJ harus dibaca dalam rangka melihat seberapa
jauh sebuah jemaat hidup dan berperan (kinerja) untuk memperjumpakan manusia
dengan Tuhan. Inilah konsep awal yang melatarbelakangi pengumpulan data-data
kuantitatif, yakni data-data untuk mengukur kinerja gereja berdasarkan visi
2003.
Secara sederhana, kinerja gereja terkait
dengan kompetensi yang dimiliki gereja – seringkai disebut kompetensi inti
gerejawi (KIG) – dalam menghadirkan perjumpaan manusia dengan
Tuhan (CBG). kinerja memperlihatkan bagaimana gereja – terkait dengan warga
gereja – menggunakan kompetensi yang dimilikinya untuk membantu sesamanya berjumpa
dengan Tuhan. Dari sini kemudian diturunkan empat indikator sebagai berikut:
- Indikator Persembahan Diri : jumlah anggota jemaat; pertambahan dan pengurangan anggota, komposisi usia, gender, pendidikan, pekerjaan, etnis.
- Indikator Persembahan Waktu: rata-rata kehadiran kebaktian & kegiatan lain, data kegiatan jemaat.
- Indikator Persembahan Tenaga : perbandingan aktifis dg anggota jemaat, rasio guru sekolah minggu dan anak sekolah minggu.
- Indikator Persembahan Dana : realisasi penerimaan, dan pengeluaran, biaya per bidang, rapp.
Keempat indikator di atas digunakan untuk membaca
profil dan kinerja jemaat yang adalah wujud
atau cermin pemenuhan CBG. Bagannya dapat dilihat di bawah ini:
Desain LKKJ seperti ini diharapkan membantu setiap jemaat membaca tren dan persoalan-persoalan dalam rangka merumuskan kebijakan yang relevan dengan kondisi riil.
Pada titik ini, Pdt. Hadiwitanto memberikan
catatan kritis terhadap desain LKKJ yang cenderung membawa orang pada pemikiran
bahwa semakin banyak program dan kehadiran anggota jemaat berarti semakin kuat
kinerja jemaat dalam rangka menghadirkan perjumpaan manusia dengan Tuhan. Bagi
Pdt. Hadiwitanto, banyaknya kegiatan di jemaat tidak berarti kinerja dalam
rangka perjumpaan manusia dengan Tuhan (CBG) semakin tinggi; kinerja seharusnya
berhubungan dengan kualitas, bukan dengan banyaknya program. Dimensi kualitatif
bisa dikatakan tidak dijangkau dalam desain LKKJ saat ini. Oleh karena itu, Pdt.
Hadiwitanto mempertanyakan gagasan mengenai (1) ekklesia, (2) kinerja dan
(3) perjumpaan manusia dengan Tuhan di balik desain LKKJ yang sangat program centered. Dalam konteks ini,
dibutuhkan pengayaan terhadap ketiga gagasan tersebut, kemudian menurunkannya
ke dalam berbagai indikator dalam rangka pengumpulan data di tingkat jemaat. Proses seperti ini diyakini akan memperkaya
LKKJ di mana berbagai data kuantitatif yang ada saat ini akan dibaca bersamaan
dengan data-data kualitatif, sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini:
Bagi Pdt. Hadiwitanto, pengayaan seperti
ini akan membantu jemaat untuk memeriksa secara terus-menerus bagaimana
pemaknaan (ekklesia dan perjumpaan
manusia dengan Tuhan) dihidupi (kinerja) di tengah jemaat maupun terkait peran
gereja atau warga gereja di tengah masyarakat.
Kendala-kendala yang sempat di singgung
Pdt. Hadiwitanto pada bagian awal, semakin diperkuat dengan beberapa catatan
penting yang dikemukakan oleh Bp. Sukismo – pembicara kedua – dari
PPDI BPMSW GKI Jabar. Berdasarkan pengalaman pengumpulan data di lapangan, PPDI
masih bergumul dengan beberapa tantangan yang dijumpai di lapangan, seperti:
- Adanya sikap skeptis dan anggapan bahwa LKKJ tidak bermanfaat, sulit dikerjakan dan merupakan beban.
- Adanya pandangan bahwa kualitas lebih penting dari pada sekedar berputar dengan data-data kualitatif.
- Kebingungan dalam mengerjakan LKKJ secara benar.
- Tidak adanya sistem pencatatan dan kompilasi data.
- Tidak disiplin dalam mencatat dan meng-update data.
- Pemeliharaan data tidak berjalan secara secara sinambung mengingat pengumpulan dan pemeliharaan data sangat tergantung pada orang-orang tertentu; pergantian orang biasanya akan diikuti dengan terhentinya LKKJ

- kesulitan membaca tren yang ada dalam kehidupan jemaat (profile dan kinerja jemaat).
- Ketidakmampuan mengembangkan strategi pengembalaan yang sesuai dengan tantangan di tengah jemaat.
- Kesulitan mengelola keuangan jemaat,
- Pengambilan keputusan dan penyusunan Renstra (Rencana Strategis) tidak memiliki basis data yang baik.
- pertanggungjawaban program tidak didukung data.
Selain beberapa catatan di atas, Pdt.
Stephen Suleeman – sebagai pembicara
ketiga – memberikan sebuah catatan menarik, yakni membaca gereja dalam konteks
modal sosial. Pembacaan seperti ini diyakini akan membantu kita melihat tingkat
akseptabilitas jemaat di tengah dunia sosialnya dan dampaknya terhadap peran
misional jemaat tersebut. Data-data yang digali dari posisi seperti ini dapat
memperkaya LKKJ yang saat ini cenderung memberikan overview secara kuantitaif mengenai kehidupan jemaat.
Usulan Pdt. Suleeman berawal dari
pembacaannya terhadap sejumlah pertanyaan LKKJ yang diajukan ke jemaat.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa LKKJ hendak menempatkan
jemaat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah komponen. Oleh karena
itu, muncullah pertanyaan-pertanyaan untuk melihat tren yang berkembang dalam
kehidupan jemaat (tingkat kehadiran dan berbagai program).
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dipandang bisa memberikan gambaran umum
(permukaan) mengenai jemaat, namun tidak memadai untuk menggali dimensi
kualitatif di balik angka-angka tersebut. Dengan kata lain, perjumpaan manusia
dengan Tuhan (CBG) tidak terlihat/terukur hanya dengan mengandalkan angka-angka
kuantitaif di dalam LKKJ saat ini. Alur seperti ini, sebagaimana disinggung
Pdt. Suleeman, ikut memberikan kontribusi terhadap kejenuhan jemaat dalam
mengerjakan LKKJ. Pengumpulan data berbasis format LKKJ tidak lagi menjadi
sesuatu yang menantang, bahkan menimbulkan kebingungan dalam membacanya. Oleh
karena itu, beliau mengusulkan data-data kuantitatif yang ada bisa diperkaya
dengan deskripsi tebal berbasis data kualitatif. Dengan demikian, LKKJ tidak
hanya berputar pada angka-angka atau persentase semata. Namun, di dalamnya
terdapat penjelasan mendalam mengenai dinamika kehidupan jemaat; baik secara
internal maupun dalam konteks kehadirannya di tengah masyarakat. Apabila ini
tidak dilakukan, dikuatirkan LKKJ hanya akan menempatkan gereja bagaikan sebuah
perusahaan di mana harus dicatat naik-turunnya persembahan (laba) dan kehadiran
anggota.
Dari penyajian yang ada, termasuk beberapa
sharing dalam sesi tanya-jawab, kita
bisa menarik beberapa poin yang bisa dilihat sebagai rekomendasi dalam rangka
pelaksanaan dan pengembangan LKKJ, yakni:
- Di tiap jemaat dan klasis perlu dibentuk pokja Litbang yang akan mengumpulkan, mengelola dan memelihara data-data LKKJ, termasuk di dalamnya memastikan bahwa pengumpulan data akan berlangsung secara sinambung
- Pokja Litbang perlu didukung tenaga khusus (full timer) dalam rangka pengerjaan LKKJ. Hal ini sekaligus merespon kesulitan jemaat dalam mengerjakan, mengompilasi dan membaca data untuk penyusunan program dan Renstra jemaat. Keberadaan tenaga full timer juga dapat mengurangi gejolak yang biasanya ditimbulkan oleh pergantian orang dalam kepengurusan.
- Saat ini pokja Litbang yang berada di bawah PPDI telah memiliki program sederhana untuk meng-input data. Program seperti ini perlu untuk dipelajari bersama-sama di tingkat jemaat, termasuk mendialogkannya dengan berbagai usulan pengembangan LKKJ
- Dibutuhkan pendalaman – melalui serangkaian diskusi – beberapa konsep penting, yakni: (a) Ekklesia, (b) perjumpaan manusia dengan Tuhan dan (c) kinerja. Pendalaman terhadap ketiga konsep ini akan memperkaya pengumpulan data dalam rangka membaca iklim bergereja (visi-misi, kepemimpinan, tempat warga jemaat sebagai subjek dan sebagainya).
- LKKJ perlu diperkaya dengan pendekatan modal sosial agar tingkat akseptabilitas gereja di tengah masyarakat bisa dibaca, termasuk dampaknya terhadap misi gereja.
- Dibutuhkan upaya bersama untuk menemukan langkah-langkah yang tepat dalam rangka menyusun deskripsi tebal mengenai kondisi jemaat (teologi, budaya dan dinamika yang hidup di tengah jemaat). Deskripsi ini akan membantu jemaat untuk membaca secara mendalam apa yang tampak dipermukaan (data-data kuantitatif).
****************