Thursday 7 March 2013

Jurnal Penuntun Vol. 14, No. 25, 2013

Beberapa Catatan Reflektif 
dalam Dunia yang Bergerak Cepat
 

                     Pengantar

“Beberapa Catatan Reflektif dalam Dunia yang Bergerak Cepat” — tema Jurnal Penuntun Vol. 14, No. 25, 2013 — merupakan upaya  menghadirkan sejumlah catatan yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, baik mereka yang berada di dunia akademis maupun yang bergumul dengan keseharian di tengah jemaat. Tema ini diangkat dengan kesadaran bahwa kekristenan berhadapan dengan berbagai perkembangan yang dengan cepat mengubah tatanan sosio-kultural, dan perubahan itu bisa dilihat dampaknya di dalam agama. Di sini Stephen Suleeman, dengan tulisannya “Megachurch dan Globalisasi”, membantu kita untuk melihat seperti apa potret perubahan tersebut terkait berkembangnya pola keagamaan yang mengambil bentuk Megachurch.


Selain wajah agama, perubahan juga bisa dilacak di dalam dunia pendidikan di mana lebelisasi “sekolah bertaraf internasional” menjadi pemandangan umum di kota-kota besar. Di sini Hendri M. Sendjaja, melalui tulisannya “Globalisasi Menantang Pendidikan Sekolah-sekolah Nasional”, membantu kita memahami gerak globalisasi di dalam dunia pendidikan dan dampaknya. Sebuah gerak yang membuka kemungkinan tergusurnya dunia pendidikan dari tujuan luhurnya. Catatan seperti ini bisa ditemui juga di dalam tulisan Natanael Setiadi, mengenai “Fleksibilitas Mengonsumsi Makanan”, di mana globalisasi mengubah pola makan manusia menjadi sesuatu yang datar dan tak bermakna. Di sini terdapat tantangan untuk menemukan makna teologis dari mengonsumsi makanan, dan Natanael Setiadi akan membantu kita masuk lebih jauh ke dalam topik tersebut. Beberapa tulisan di atas bisa dibaca bersamaan dengan ulasan Budiman atas buku George Ritzer yang berjudul The Globalization of Nothing yang menggambarkan bagaimana tempat-tempat pemujaan baru bermunculan dan terbentuknya relasi kehampaan dalam hubungan sosial.


Salah satu tantangan yang rasanya tidak bisa diabaikan dalam berhadapan dengan proses globalisasi adalah upaya membuka kembali dialog dengan kebudayaan. Hal ini mengingat globalisasi membuat dunia terasa begitu datar, ditambah arus materialisme yang melanda masyarakat sampai ke tingkat lokal. Dialog dengan kebudayaan akan membantu kekristenan menemukan makna kehadirannya di dalam masyarakat, dan di sini Ebenhaizer Nuban Timo – dengan tulisannya “Gereja dan Budaya-Budaya” – mengantar kita untuk membuka percakapan dengan kebudayaan. Dalam konteks dialog, tulisan Cordelia Gunawan akan mengantar kita pada persoalan kesetaraan yang harus diberikan tempat dalam dialog antara agama dengan dunia di sekitarnya. Tulisannya, “Humanistic Interpretation as a Base for Gender Equality in Islam”, memberi perhatian pada pergulatan di dalam Islam, dan sudut pandang humanistis dari sejumlah pemikir muslim dapat memperkaya kita dalam berdialog dengan isu-isu kesetaraan. Masih dalam alur dialog, gerak ekumenis adalah medan berikutnya yang harus terus dibuka (dalam percakapan ekumenis tentunya) untuk menghadapi gerak dunia yang begitu cepat dan menghasilkan gerak divergensi secara sosio-kultural yang berdampak terhadap wajah agama. Di sini pergumulan untuk memahami dan menemukan visible sign dalam pengembaraan ekumenis menjadi sesuat yang dibutuhkan. Tulisan yang berjudul “Bergumul dengan Tanda (Sign) Dalam Teologi Ekumenis” (Beril Huliselan) dapat dilihat sebagai upaya untuk terus menggumuli visible sign tersebut. Dalam konteks ini, tulisan Rasid Rachman yang berjudul “Tahun Liturgi” sesungguhnya memperkaya kita dengan salah satu topik yang juga menjadi bagian dalam pengembaraan ekumenis, yakni persoalan common worship. Tulisan ini dapat dipertimbangkan terkait upaya kita menghadirkan kehidupan gereja yang bergerak dalam siklus kelahiran dan kebangkitan Kristus.


Kami berharap beberapa tulisan di dalam Jurnal Penuntun Vol. 14, No. 25, 2013 dapat membantu para pembaca dalam dialog dengan dunia yang bergerak begitu cepat. Selain itu, kami juga berharap tulisan-tulisan di dalam jurnal ini dapat terus mengikat hubungan emosional antara Jurnal Penuntun dengan para pembacanya.

Salam