Friday 3 October 2014

Jurnal Penuntun No. 26: Gereja dan Tantangan di Era Otonomi Daerah

Apabila dihitung sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 (tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) maka pelaksanaan otonomi daerah (Otda), pasca-Soeharto, sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa dan menghasilkan 538 daerah otonom (34 provinsi, 411 kabupaten dan 93 kota). Apabila dibaca secara politik – sebagaimana diusulkan oleh Robert Endi Jaweng dalam tulisannya yang berjudul Apa dan Bagaimana Otonomi Daerah: Beberapa Catatan Penerapannya di Indonesia – otonomi merupakan pengakuan atas kewenangan dan keberdayaan politik warga (citizen politics) dalam konteks memperkuat demokrasi. Oleh karena itu, otonomi lebih dari sekedar persoalan desain kelembagaan. Melalui otonomi, negara kesatuan hendak dirawat melalui pengakuan atas keberdayaan masyarakat lokal di mana hubungan antara daerah dengan pusat maupun hubungan antardaerah dikelola secara demokratis. Di dalamnya berlangsung penguatan budaya politik yang demokratis, baik di tingkat warga maupun elite, serta penguatan kewenangan daerah untuk mengelola keragaman, layanan publik dan kesejahteraan berbasis keunikan/potensi lokal di tiap daerah. Dalam pembacaan Jaweng, desain kelembagaan yang terkait dengan penyerahan berbagai urusan pusat ke daerah harusnya memperkuat tujuan politik dari otonomi tersebut, yakni keberdayaan rakyat secara politik, ekonomi dan sosio-budaya.
Pada kenyataannya, perjalanan otonomi – yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa – ternyata menimbulkan sejumlah persoalan yang mencederai moral-demokrasi (berbasis hak-hak dasar manusia) yang seharusnya hidup di dalam pelaksanaan otonomi. Jaweng misalnya mencatat bagaimana favoritisme berbasis identitas lokal dilembagakan dalam berbagai peraturan daerah (Perda), belum lagi berkembangnya otonomi versi elite yang telah membajak rakyat sebagai subjek atas distribusi anggaran, alokasi sumber data dan kebijakan publik. Tulisan Jaweng dapat membantu kita untuk membaca defisit demokrasi yang berlangsung seiring pelaksanaan Otda, termasuk beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan gereja-gereja dalam rangka memperkuat demokrasi.
Catatan Jaweng mengenai berkembangnya favoritisme berbasis identitas, yang muncul dalam sejumlah peraturan daerah, bisa didalami lebih lanjut melalui uraian Maruarar Siahaan dalam tulisan berjudul Peraturan Daerah yang Diskriminatif dalam Sistim Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di sini kita bisa menyusuri lebih jauh hubungan antara kedaulatan rakyat dengan pergulatan hukum nasional yang seharusnya tersusun secara hirarkis dan menjamin prinsip demokrasi berbasis kedaulatan rakyat. Pergeseran politik ke daerah memiliki implikasi munculnya berbagai Perda diskriminatif yang bertabrakan dengan konstitusi. Ini berlangsung seiring berkembangnya politik lokal, terjadinya tumpang tindih soal kewenangan pusat dan daerah – misalnya agama yang seharusnya menjadi wewenang pusat, tapi dalam pelaksanaan diatur dalam Perda – serta persoalan dualism kelembagaan dalam judicial review yang membuat Perda bisa saja bertabrakan dengan konstitusi. Bagi Siahaan, selain masalah pembenahan sistem hukum nasional, dibutuhkan juga kerja-kerja di tingkat lokal untuk memperkuat masyarakat yang inklusif. Dengan demikian, tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui jalur hukum, namun bisa juga melalui jalur kultural untuk memperkuat masyarakat lokal yang inklusif.
Di antara berbagai persoalan yang menyelimuti pelaksanaan Otda, ledakan politik identitas dan eksploitasi kekayaan alam merupakan persoalan serius mengingat dampaknya pada pergeseran tatanan sosial, budaya, ekonomi dan politik di tingkat lokal. Bahkan, sebagaimana dicatat oleh Puspitasari dalam tulisan berjudul Politik Identitas dalam Era Otonomi Daerah, persoalan ini sesungguhnya memiliki dampak terhadap imajinasi masyarakat mengenai Indonesia itu sendiri. Dalam imajinasi tersebut, kepekaan terhadap persoalan-persoalan keadilan seperti sirna ditelan narasi identitas yang menjadi konstruksi dalam membaca masyarakat lokal dengan segala kepentingannya. Bagi Puspitasari, narasi identitas berlahan-lahan menumpulkan tanggungjawab kita (termasuk gereja) terhadap isu-isu keadilan dan terbentuknya jarak sosial di dalam masyarakat; masyarakat seperti berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami satu dengan yang lain mengingat mengingat basis kepentingan yang berbeda. Tulisan ini bisa dikaitkan dengan catatan Beril Huliselan, dalam tulisan yang berjudul Komplikasi Penguasaan Sumber Daya Alam di Era Otonomi Daerah: Catatan dari Beberapa Wilayah di Indonesia, mengenai terbentuknya kekerasan simbolik di tingkat lokal. Hal ini terjadi mengingat kekuatan modal ekonomi, yang terhubung dengan kekuatan politik dan budaya/adat, menerjemahkan dirinya menjadi kekuatan simbolik sehingga penguasaan/eksploitasi sumber-sumber ekonomi lokal tampak sebagai sesuatu yang legitimate. Tantangan ini semakin diperumit dengan potensi membekunya segmentasi agama dalam segmentasi sosio-budaya. Dampaknya, pengaruh agama untuk menggerakan komitmen umat/rakyat semakin tereduksi.
Jurnal kali ini ditutup dengan sebuah catatat yang cukup komperhensif terkait tantangan gereja-gereka di era Otda. Di sini Trisno S. Sutanto, dalam tulisan yang berjudul Gereja dan Politik Pasca-Orde Baru: Beberapa Catatan Reflektif, membantu kita untuk melihat bagaimana sesungguhnya kerumitan yang dihadapi gereja-gereja di tingkat lokal. Di dalamnya, kita diingatkan akan pentingnya gereja-gereja, secara bersama-sama, merumuskan visi teologi politis – yang memberi arah bagi peran politik gereja bersama agama-agama lain – dan pentingnya kemandirian gereja dalam rangka menjalankan tanggungjawab sosial politiknya di tengah masyarakat.
Akhir kata, Jurnal Penuntun kali ini diharapkan dapat membantu gereja-gereja dan berbagai kalangan untuk memotret persoalan riil yang tengah dihadapi di era Otda.  Dan tentunya, gereja-gereja bersama berbagai lembaga yang ada di tengah masyarakat diharapkan dapat merespon tantangan yang ada utnuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara ekonomi, politik dan kebudayaan.***